PRAMUKA.ID – Beberapa hari lalu, kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari penting nasional yang bukan termasuk hari libur itu ditetapkan untuk diperingati setiap tanggal 2 Mei, mengacu kepada tanggal dan bulan kelahiran Ki Hajar Dewantara. Penetapannya dilakukan melalui Keputusan Presiden No.319 Tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959.
Bernama asli Soewardi Soerjaningrat, lelaki keturunan bangsawan dari Keraton Paku Alaman di Yogyakarta ini, dilahirkan pada 2 Mei 1889. Dia adalah pendiri sekolah Taman Siswa pada 1922, yang ketika pertama kali didirikan diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau bila diterjemahkan berarti Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa. Sejak tahun pendirian lembaga pendidikan itulah Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara (dengan ejaan terkini disebut Ki Hajar Dewantara).
Ki Hajar Dewantara yang juga merupakan tokoh pergerakan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, kolomnis (penulis artikel opini di suratkabar dan majalah), politisi, akhirnya menetapkan dirinya untuk lebih mengabdi pada dunia pendidikan. Sekolah Taman Siswa yang didirikannya adalah pendidikan progresif, yang memberikan kesempatan kepada anak-anak kaum bumiputera di masa penjajahan Belanda, untuk dapat mengenyam pendidikan yang tak kalah kualitasnya dari pendidikan melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh penguasa Hindia-Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka).
Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara dipercaya menjadi menteri pertama Republik Indonesia yang mengurus pendidikan , yang saat itu dinamakan Menteri Pengajaran. Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada 26 April 1959, dan tak lama kemudian Presiden RI saat itu, Ir. Soekarno, mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959.
Pemerintah dan masyarakat luas tentunya sepakat dengan semangat Ki Hajar Dewantara yang terus mengabdi tanpa batas. Padahal sebagai keturunan bangsawan, sebenarnya Ki Hajar Dewantara sudah cukup berada dan mendapatkan pendidikan yang baik. Dia juga telah dikenal sebagai politisi dan penulis kolom yang terkenal pada masanya. Namun, dia rela meninggalkan posisi kebangsawanannya dan berbagai hal yang telah dicapainya, untuk mengabdi di bidang pendidikan.
Tidak tanggung-tanggung, dia bahkan mendirikan Sekolah Taman Siswa sebagai wadah untuk mempraktikkan gagasan-gagasannya dalam bidang pendidikan. Ki Hajar Dewantara bukan hanya mampu secara teoritis, tetapi mampu dan mau pula mempraktikkan teori-teori pendidikannya dalam wujud nyata, mendidik anak-anak bangsa. Pengabdian tanpa batas yang terus dilakukannya sampai akhir hayatnya, menyebabkan Ki Hajar Dewantara diakui juga sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Di samping itu, selain tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, lambang kementerian yang mengurus pendidikan di Indonesia – yang saat ini dinamakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikubristek) – juga mengabadikan slogan karya Ki Hajar Dewantara, yaitu “tut wuri handayani”.
Slogan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian dari prinsip dasar sekolah Taman Siswa, yang menjadi pegangan bagi guru-guru di sana. Dikenal dengan sebutan Pratap Triloka, prinsip dasar itu dikembangkan setelah Ki Hajar Dewantara mempelajari sistem pendidikan progresif pada masanya, antara lain melalui pendidikan yang dilaksanakan Maria Montessori di Italia dan pendidikan a la Rabrindranath Tagore di India.
Pratap Triloka selengkapnya berbunyi:
ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan)
ing madya mangun karsa (di tengah membangun kemauan/semangat berkarya)
tut wuri handayani (di belakang memberi dukungan).
Tetap Dilaksanakan
Saat ini, terjadi diskusi hangat mengenai keberadaan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan peringatan tanggal serta bulan kelahirannya sebagai Hardiknas. Ada yang mengatakan bahwa penamaan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan peringatan Hardiknas itu hanya sekadar “basa-basi” saja. Kenyataannya, menurut yang menganggap penamaan dan peringatan itu hanya basa-basi, adalah sebenarnya Ki Hajar Dewantara bukan Bapak Pendidikan Nasional. Slogan Kemendikbudristek “tut wuri handayani” juga hampir tak berarti apa-apa.
Mengapa demikian? Menurut mereka, sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya hanyalah kelanjutan dari sistem pendidikan yang telah diperkenalkan penjajah di masa lalu. Bukan Ki Hajar Dewantara yang memperkenalkannya. Bahkan ada yang menyebut, justru Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels yang terkenal dengan pembangunan jalan raya pos dari Anyer di ujung Barat ke Panarukan di ujung Timur Pulau Jawa.
Daendels yang menjadi gubernur jenderal pada kurun 1808 sampai 1811 itu, disebut-sebut yang pertama kali menggagas pentingnya pendidikan modern di tanah jajahannya. Sampai saat ini pun, pendidikan di Indonesia dinyatakan sebagian orang, masih menganut sistem pendidikan yang diperkenalkan Daendels. Itulah sebabnya, dengan gaya sarkasme dan menyindir, ada yang mengatakan lebih baik Daendels yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia. Benarkah?
Sebenarnya tidak tepat. Sistem pendidikan memang merupakan proses yang mengalir. Semuanya berjalan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahwa ada yang memulai, seperti misalnya Daendels yang memperkenalkan sistem pendidikan modern di Indonesia, tentu itu patut dicatat dalam sejarah. Namun, pendidikan terus berkembang. Berbagai unsur dan masukan, baik hasil penelitian para ilmuwan dalam bidang pendidikan maupun hasil pengalaman para pendidik, membuat sistem pendidikan terus diperbaiki.
Bila sekarang kita mengenal istilah “Merdeka Belajar” atau “Kurikulum Merdeka” yang digagas oleh Mendikubristek, Nadiem Makarim, sebenarnya itu juga merupakan perwujudan dari sistem pendidikan Taman Siswa yang digagas Ki Hajar Dewantara. Melalui Pratap Triloka Taman Siswa, guru-guru diharapkan lebih memahami kemampuan para siswanya. Tidak serta merta menginstruksikan siswa, tetapi memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan minat dan kemampuan. Guru-guru bertindak sebagai pembimbing, untuk siswa yang masih muda, sang guru akan berada di depan memberi teladan, selanjutnya sang guru akan berada di tengah-tengah siswa dalam membangun kemauan dan semangat para siswa untuk berkarya. Bila siswa sudah semakin berkembang, maka sang guru tidak lagi banyak mengatur, melainkan akan berdiri di belakang, mendorong siswa-siswa untuk terus maju mencapai cita-cita mereka.
Bukankah Pratap Triloka Taman Siswa itu sejalan dengan gagasan Mendikbudristek untuk mengajak siswa agar “Merdeka Belajar”? Melalui sistem pendidikan itu yang diwujudkan dalam “Kurikulum Merdeka”, siswa-siswa didorong melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa, serta memberi ruang yang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar. Ini terbukti bahwa gagasan Ki Hajar Dewantara tetap dilaksanakan sampai saat ini.
Gerakan Pramuka
Bukan hanya bagi pendidikan formal, bagi pendidikan nonformal pun, gagagasan Ki Hajar Dewantara tetap dilaksanakan sampai saat ini. Contohnya, di dalam Gerakan Pramuka, sebagai organisasi pendidikan nonformal, yang melengkapi pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kegiatan pendidikan di lingkungan Gerakan Pramuka dilakukan dengan sistem among, yang merupakan proses pendidikan kepramukaan yang membentuk peserta didik agar berjiwa merdeka, disiplin, dan mandiri dalam hubungan timbal balik antarmanusia. Perlu dicatat di dalam sistem among itu terdapat kata “berjiwa merdeka”, senada maksudnya dengan penerapan sistem “Belajar Merdeka” yang digagas Kemendikbudristek.
Dijelaskan pula, sistem among tersebut dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kepemimpinan:
a. di depan menjadi teladan;
b. di tengah membangun kemauan; dan
c. di belakang mendorong dan memberikan motivasi kemandirian.
Ketiga prinsip kepemimpinan tersebut jelas-jelas merupakan terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dari Pratap Triloka Taman Siswa. Semua itu tercantum dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Selanjutnya diperjelas pula dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka. Para Pembina Pramuka (termasuk Pelatih Pembina Pramuka) terus berusaha memberikan pendidikan kepada para peserta didiknya dengan menerapkan sistem among itu.
Ini sekali lagi membuktikan, bahwa gagasan Ki Hajar Dewantara tetap dilaksanakan sampai saat ini, baik di pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Maka, tak usah dperdebatkan lagi. Sudah jelas, Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional dan setiap 2 Mei memang layak diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
***
*) Kak Berthold Sinaulan adalah Wakil Ketua/Ketua Komisi Kehumasan dan Informatika Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.