PRAMUKA.ID – Program Ticket to Life (TTL) kini diperluas jangkauannya. Demikian informasi terkini yang diperoleh dari Kantor Pendukung Kepanduan Asia-Pasifik di Filipina melalui pos elektronik (email) tertanggal 4 Mei 2022. Bila sebelumnya, program itu hanya terbatas untuk mengajak anak-anak jalanan (street children) bergabung dalam kegiatan kepramukaan, kini diperluas untuk anak-anak dari kategori lainnya.
TTL yang merupakan proyek unggulan (flagship project) Kepanduan Asia-Pasifik itu, selain diperuntukkan bagi anak-anak jalanan, kini juga terbuka bagi anak-anak dan remaja dari kawasan yang terdampak oleh konflik sosial atau bencana alam.
Program itu juga diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja pengungsi dalam arti umum yang berarti pengungsi dari suatu negara ke negara lainnya, dan pengungsi internal (internally displaced person/IDP). Istilah IDP adalah terkait untuk pengungsi yang telah dipaksa atau diwajibkan untuk melarikan diri atau meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka.
Mereka dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka sebagai akibat dari atau untuk menghindari efek konflik bersenjata, situasi kekerasan umum, pelanggaran hak asasi manusia atau bencana, tetapi belum melintasi batas negara yang diakui secara internasional.
Selain mereka, program TTL juga diperluas untuk menampung anak-anak dan remaja yang terdampak akibat penyakit HIV, anak-anak dan remaja yang mempunyai keterbatasan kemampuan, anak-anak yatim piatu serta mereka yang karena sesuatu hal meninggalkan atau ditinggalkan orangtuanya, anak-anak dari kelompok minoritas tertentu, serta pelaku kejahatan anak dan remaja dalam tahanan kepolisian atau lembaga peradilan pidana.
Organisasi-organisasi nasional kepramukaan (National Scout Organization/NSO), seperti Gerakan Pramuka di Indonesia, ditawarkan untuk mengembangkan program TTL dengan beberapa persyaratan tertentu, yang nantinya sebagian akan dibantu pendanaannya dari Kepanduan Asia-Pasifik.
Persyaratan itu antara lain adalah, program TTL harus menjadi bagian dari program Gugusdepan Pramuka yang sudah ada, melibatkan anak-anak seperti yang termasuk dalam kategori TTL tersebut, berusia antara 6 sampai 18 tahun, dan setidaknya terdiri dari 32 anak-anak dan remaja serta Pembina Pramuka yang mampu menjalankan program tersebut.
Perluasan kategori anak-anak dan remaja yang bisa ikut program TTL menunjukkan bahwa gerakan kepanduan di kawasan Asia-Pasifik, menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial.
Walaupun gerakan kepanduan atau kepramukaan bukan organisasi bantuan sosial, tetapi membantu anak-anak dan remaja seperti itu, merupakan bagian dari komitmen untuk mendidik generasi muda agar mendapatkan kesempatan memperoleh masa depan yang lebih cerah.
Awal Terbentuknya TTL
Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gerakan Pramuka akhir Maret 2022, Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka, Komjen Pol (Purn) Drs. Budi Waseso telah mengungkapkan tema Rakernas 2022 adalah “Mengabdi Tanpa Batas untuk Membangun Ketangguhan Bangsa”.
“Tema yang kami harapkan dapat dijadikan tema utama untuk berbagai kegiatan kepramukaan pada tahun ini. Gerakan Pramuka harus bertekad bulat untuk mengabdi tanpa batas dalam membangun generasi muda yang tangguh dan pada gilirannya dapat dengan tangguh pula memimpin bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Kak Budi Waseso.
Tema tersebut jelas sekali sejalan dengan program TTL yang dilaksanakan Kepanduan Asia-Pasifik. Mengajak para Pramuka untuk mengabdi tanpa batas dalam membangun generasi muda yang tangguh. Apalagi, Gerakan Pramuka sebenarnya juga merupakan salah satu NSO yang ikut merintis program TTL itu.
Awal terbentuknya program TTL itu adalah ketika tibanya surat dari Kepanduan Asia-Pasifik yang ditandatangani Direktur Regionalnya saat itu, Kak Abdullah Rasheed, pada November 2006.
Isinya mengajak Gerakan Pramuka untuk mengirimkan dua orang perwakilannya mengikuti sebuah lokakarya (workshop) tentang TTL yang akan diadakan 4 sampai 6 Desember 2006 di Manila, Filipina. Lokakarya itu dinamakan “Ticket to Life: Asia-Pacific Regional Workshop on Children in Especially Difficult Circumstances”.
Ketua Kwarnas saat itu, Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH, kemudian menugaskan satu Andalan Nasional (Annas) yang biasa menangani Pramuka Peduli dan satu staf Kwarnas untuk mewakili Gerakan Pramuka. Namun ternyata, Annas yang biasa menangani Pramuka Peduli itu berhalangan.
Setelah berembuk dengan Sekretaris Jenderal Kwarnas saat itu, dr. Joedyaningsih, MPH, akhirnya ditugaskan Annas Kak Berthold Sinaulan dan Staf Humas Kwarnas, Kak Nurrochmah Yuliatiningsih, berangkat ke Manila.
Keduanya berangkat pada 3 Desember 2006 dan menginap serta berkegiatan di komplek Kwarnas Boy Scouts of the Philippines (BSP), NSO di Filipina.
Acaranya dibuka secara resmi oleh Presiden BSP, Hon. Jejomar C. Binay, pada 4 Desember 2006. Sekadar tambahan informasi, beberapa tahun kemudian, Kak Binay terpilih sebagai Wakil Presiden Filipina.
Selain Kak Rasheed dan sejumlah staf dari Kantor Pendukung Kepanduan Asia-Pasifik yang saat itu masih bernama Kantor Biro Kepanduan Asia-Pasifik, hadir pula sebagai narasumber dan fasilitator yaitu Kak Peter Blatch, Ketua Subkomite Orang Dewasa dalam Kepramukaan (Adult in Scouting) Kepanduan Asia-Pasifik yang berasal dari Australia.
Lalu Kak Anne Whiteford, Direktur Eksekutif Metode Pendidikan (Educational Method) dari Biro Kepanduan Sedunia di Jenewa, Swiss, serta Kak Peter Nwema dari NSO Kenya. Bertindak selaku direktur lokakarya adalah Kak Ernesto Baluyot, Asisten Sekjen BSP.
Lokakarya itu dihadiri 15 peserta, yang berasal dari Bangladesh, India, Indonesia, Nepal, Srilanka, dan Filipina sebagai tuan rumah. Keenam NSO itu, yang salah satunya adalah Gerakan Pramuka dari Indonesia, yang menjadi cikal bakal program TTL di kawasan Asia-Pasifik.
Semakin Berkembang
Sepulang dari lokakarya itu, para peserta diminta untuk memulai program TTL di negara masing-masing. Apalagi pada 2007 itu yang merupakan peringatan Seabad Gerakan Kepanduan Sedunia, digagas pula aksi para Pramuka/Pandu sedunia untuk memberikan Gift for Peace (Hadiah untuk Perdamaian).
Masing-masing NSO diajak untuk membuat program yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan memberikan dampak positif dengan terbangunnya perdamaian di negara masing-masing. Bagi para Pramuka di kawasan Asia-Pasifik, Gift for Peace itu antara lain diwujudkan dengan mengadakan program TTL.
Ketika akan dimulai di Indonesia, Kak Berthold sebenarnya telah menyampaikan kepada Ketua Kwarnas, Kak Azrul Azwar, agar dicari orang yang benar-benar bisa fokus menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan kesibukan Kak Berthold sebagai jurnalis/wartawan, yang sering harus melaksanakan liputan bukan hanya ke luar daerah, tetapi juga ke luar negeri.
Namun, Kak Azrul menyarankan agar pelaksananya tetap saja yang telah mengikuti lokakarya. Akhirnya, disepakati Kak Berthold sebagai Koordinator Nasional (National Coordinator) TTL, dan Kak Rochmah (Nurrochmah) sebagai asistennya. Saat itu, keduanya juga dibantu oleh Staf Kwarnas lainnya, yaitu Kak Nurdin Arsyad dan Kak Yusak Manitis.
Melalui jejaring Kak Nurdin, akhirnya didapat dua kawasan tempat pelaksanaan TTL. Satu di belakang Stasiun Kereta Api Jatinegara, dan satu lagi di komplek Pasar Induk Kramatjati. Keduanya terletak di Jakarta Timur. Selanjutnya, dengan bantuan Kak Nurdin, direkrut pula Kak Isa Anshori, Pelatih Pembina Pramuka dari Kwarcab Jakarta Timur.
Maka mulailah latihan dengan masing-masing sekitar 20 anak dan remaja dilaksanakan di kedua tempat itu. Jumlah 20 orang itu, terkadang berkurang, kali lain bertambah, tergantung dari kesediaan anak-anak dan remaja di tempat itu.
Dana yang didapat dari Kepanduan Asia-Pasifik, segera dibelikan peralatan latihan dan juga seragam Pramuka yang masih polos, belum diberi tanda apa pun. Untuk pembeliannya dibantu oleh Kak Nurdin, yang kebetulan juga mempunyai Kedai Pramuka di rumahnya di kawasan Cibubur, Jakarta Timur.
Tentu saja, karena dibantu oleh Kak Nurdin, maka peralatan dan seragam Pramuka dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga pasar.
Selebihnya, dana juga dimanfaatkan untuk membeli makanan dan minuman bagi anak-anak jalanan yang ikut program TTL itu. Kakak-kakak Pembina Pramuka yang membantu menangani program itu, berusaha membeli makanan dan minuman yang sehat dengan harga terjangkau. Dananya bukan hanya bantuan dari Kepanduan Asia-Pasifik, tetapi Kwarnas juga menyumbangkan sebagian dana tambahan.
Begitulah, kegiatan program TTL dimulai di Indonesia. Anak-anak jalanan yang mengikuti program itu, bahkan juga diajak menyelesaikan Syarat Kecakapan Umum (SKU) masing-masing. Ada yang di golongan Pramuka Siaga (7-10 tahun) dan ada juga yang di golongan Pramuka Penggalang (11-15 tahun).
Kak Berthold, Kak Yusak, dan Kak Isa, bahkan sempat pula ikut kegiatan lokakarya evaluasi TTL (TTL evaluation workshop) yang diadakan di Kakani International Scout Centre, di ketinggian 2000 meter lebih dari permukaan laut, di kaki Pegunungan Himalaya, Nepal, pada 2008. Lokakarya evaluasi ini diadakan setiap dua tahun sekali.
Kesibukan kerja, membuat Kak Berthold kemudian menghadap Kak Azrul, mengusulkan pergantian Koordinator Nasional TTL, pada akhir 2009. Namun, karena saat itu telah ada undangan untuk mengikuti lokakarya evaluasi berikutnya di Bangladesh pada awal 2010, Kak Azrul tetap meminta Kak Berthold berangkat ke Bangladesh.
Pada Januari 2010, Kak Berthold dan Kak Isa mewakili Gerakan Pramuka mengikuti lokakarya evaluasi di komplek Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bangladesh Scouts, yang terletak di Mouchak, Gazipur, sekitar satu jam berkendaraan dari Dhaka, ibu kota Bangladesh.
Sepulang dari lokakarya itu, Kak Berthold dan Kak Isa, dibantu Kak Rochmah dan Kak Deden, menyelesaikan laporan-laporan yang dibutuhkan. Lalu, Kak Berthold mengirimkan surat resmi kepada Kak Azrul yang diterima oleh Kak Joedyaningsih, isinya pengunduran diri sebagai Koordinator Nasional TTL, disebabkan kesibukan Kak Berthold. Kali ini, surat itu diterima oleh Kak Azrul, yang kemudian menunjuk Koordinator Nasional TTL yang baru.
Ide Baden-Powell
Walaupun Koordinator Nasional TTL telah berganti, dan pelaksanaan program TTL berganti pula lokasinya, tetapi kegiatan itu masih terus berlangsung sampai saat ini. Pihak Kepanduan Asia-Pasifik pun tetap menjadikan TTL sebagai program unggulan. Mengapa demikian?
Jawabannya, karena sebenarnya TTL juga melanjutkan ide yang digagas oleh Bapak Pramuka/Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell. Ketika awal 1900, Baden-Powell pulang ke negaranya dan disambut sebagai pahlawan setelah berhasil mengatasi gempuran pasukan lawan selama 217 hari di Mafeking (wilayah yang kini bernama Mafikeng dan terletak di Afrika Selatan), selain senang, sebenarnya ada kesedihan di hati Baden-Powell.
Baden-Powell melihat cukup banyak anak-anak dan remaja di kota London, Inggris, yang menjadi tempat tinggalnya, lebih sering berkeluyuran di jalanan. Mereka menjadi anak-anak jalanan, yang seringkali menimbulkan keonaran karena kenakalan mereka. Baden-Powell lalu melihat, salah satu penyebabnya, adalah karena anak-anak dan remaja itu tidak mempunyai kegiatan yang bermanfaat. Sementara orangtua mereka lebih sibuk mencari nafkah.
Namun, di samping kesedihan, Baden-Powell melihat ternyata buku karangannya yang berjudul Aids to Scouting, diminati pula banyak orang. Termasuk dibaca anak-anak dan remaja. Padahal buku itu ditulisnya sebagai buku panduan untuk para calon prajurit di Kerajaan Inggris.
Baden-Powell yang saat itu berpangkat Kolonel, memang seorang komandan pasukan di Kerajaan Inggris. Dalam buku itu, Baden-Powell menuliskan panduan untuk mencari jejak, menghindari sergapan musuh, mengenali tanda-tanda alam, dan sebagainya. Anak-anak dan remaja ternyata senang membacanya, dan mulai mencoba meniru panduan yang ada di buku itu.
Baden-Powell kemudian mendapat ide cemerlang. Diajaknya sekitar 20 anak dan remaja untuk berkemah di Pulau Brownsea, yang tak berapa jauh dari Kota London, pada awal Agustus 1907. Di sana, selain mempraktikkan panduan dari buku Aids to Scouting, Baden-Powell juga mengajak anak-anak dan remaja untuk mengagumi kebesaran Tuhan YME melalui alam terbuka tempat mereka berkemah. Baden-Powell juga membangkitkan semangat mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik, dengan bernyanyi, bermain, bergembira, dan mempererat persaudaraan satu sama lain.
Hasil dari perkemahan itu, ditambah dengan masukan dari sejumlah teman dan buku-buku lain yang dibacanya, kemudian disimpulkan Baden-Powell dalam serial enam kali terbit yang diberinya judul Scouting for Boys. Selain judul itu, ada subjudulnya yaitu A handbook for instruction in good citizenship atau diterjemahkan secara bebas, “Sebuah buku pegangan untuk instruksi menjadi warganegara yang baik”.
Tulisan itu dimuat berseri sejak Januari 1908 untuk seri pertama sampai Maret 1908 untuk seri keenam. Ternyata tulisan berseri disambut hangat, baik oleh masyarakat umum, khususnya kalangan pendidik dan orangtua, serta anak-anak remaja. Maka, pada 1 Mei 1908 keenam seri itu dijadikan satu dalam buku Scouting for Boys.
Buku yang segera menjadi bestseller, laku terjual cepat di Inggris dan negara-negara Persemakmuran Inggris. Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia, termasuk ke dalam Bahasa Indonesia.
Awalnya diterjemahkan sebagai Memandu untuk Putra, kemudian diubah menjadi Memandu untuk Pramuka. Sebuah buku yang kemudian melahirkan the Scouting movement atau gerakan kepanduan/kepramukaan yang kini ada di 171 NSO di seluruh dunia.
Jadi, sama seperti TTL yang awalnya mengajak anak-anak jalanan untuk berkegiatan kepramukaan, maka Baden-Powell pun awalnya mengajak anak-anak jalanan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan bermanfaat dalam the Scouting movement.
***
Naskah:
Kak Berthold Sinaulan, Wakil Ketua Kwarnas/ Ketua Komisi Kehumasn dan Informatika Kwarnas Gerakan Pramuka
Foto-foto:
Kantor Pendukung Kepanduan Asia-Pasifik/Asia-Pacific Regional Scout Support Centre dan Koleksi Kak Berthold Sinaulan
Semoga TTL Pasukan Jayakarta bisa segera aktif kembali… Semangat..
Aamiin, semoga juga bisa banyak pasukan lainnya