Istana Negara pada Kamis malam, 9 Maret 1961 mendadak panas. Presiden Soekarno mengungkapkan kejengkelannya di depan menteri dan pimpinan organisasi kepanduan. Bung Karno menjelaskan penduduk Indonesia saat itu ada 92 juta dimana sekitar 23 juta adalah penduduk berusia 6 sampai 22 tahun.
“Berapa yang menjadi pandu? Tidak melebihi setengah juta,” katanya.
Seharusnya, ujar Bung Karno, yang menjadi pandu sedikitnya 20 juta karena Indonesia sudah 15 tahun merdeka. Presiden melihat ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan kepanduan di Tanah Air. Pertama, jumlah organisasi kepanduan yang banyak, ada 60 organisasi.
Kedua, materi latihan kepanduan kebanyakan berisi tali temali, berkemah dan penjelajahan hutan. Bung Karno bercerita ketika berkunjung ke negara komunis di Eropa Timur dan Cina, dia menyaksikan remaja berusia 12-13 tahun sudah pandai membuat pembangkit listrik mini tenaga air dan tenaga angin.
Menurut Presiden Soekarno, pengelolaan kepanduan seperti ini tidak bisa memenuhi cita-cita dan penderitaan rakyat sehingga tidak heran jumlah anggotanya hanya 500 ribu. Oleh karena itu, Bung Karno memerintahkan peleburan 60 organisasi kepanduan menjadi satu.
Memang, tidak lama kemudian, keluar Keputusan Presiden Nomor 238 tahun 1961 yang menetapkan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan.
Pada 14 Agustus 1961, Presiden Soekarno melantik pimpinan Kwartir Nasional (Kwarnas) dan penganugerahan Panji-Panji Gerakan Pramuka. Tanggal 14 Agustus kemudian diperingati sebagai Hari Pramuka.
Revitalisasi Pramuka
Kini, 60 tahun sudah berlalu. Akan tetapi, kekecewaan terhadap Gerakan Pramuka disampaikan juga oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Hari Pramuka ke-45. Pada pidato di Bumi Perkemahan Cibubur, 14 Agustus 2006, Presiden Yudhoyono menyoroti berkurangnya minat pelajar dan mahasiswa menjadi pramuka.
Hal itu terjadi karena metodologi dan bentuk kegiatan yang kurang sesuai dengan perkembangan anak muda di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi.
Presiden Yudhoyono, selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional (Mabinas) Pramuka, memerintahkan Kwarnas melakukan revitalisasi. Tahun 2010, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan UU Nomor 12 tentang Gerakan Pramuka Nomor 12.
Tidak lama kemudian, ditetapkan Kurikulum Pendidikan 2013 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 63 tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Di dalam Permen ini, dijelaskan bahwa pendidikan kepramukaan dilaksanakan dalam tiga model, meliputi model blok, model aktualisasi dan modul reguler.
Di dalam Peraturan Menteri Nomor 63 tahun 2014, diuraikan materi latihan berupa upacara pembukaan dan penutupan. Setelah itu ada keterampilan kepramukaan, yaitu pioneering (simpul dan ikatan), mountenering (mendaki gunung), berkemah, wirausaha, belanegara, teknologi dan komunikasi.
Materi itu disampaikan guru dan pembina yang sudah mengikuti Kursus Mahir Dasar Pramuka. Karena pesertanya seluruh pelajar, biasanya pelajar senior yang menjadi pramuka di gudep sekolah tersebut ikut melatih juniornya.
Satu dasawarsa setelah revitalisasi dan pelaksanaan UU Gerakan Pramuka, apakah Generasi Z dan Generasi Milenial tertarik ikut pramuka? Tidak juga.
Tengok saja data keanggotaan yang anjlok di golongan penegak. Berdasarkan laporan Kwarda ke Kwarnas hingga akhir 2020, jumlah peserta didik ada sekitar 24 juta.
Terdiri dari pramuka siaga ada 8,8 juta dan pramuka penggalang 11,2 jutaan. Lalu turun drastis untuk penegak yaitu sekitar 3,7 juta dan pandega hanya 162 ribu. Untuk jumlah pembina sekitar 1 juta.
Mereka tersebar di 250 ribu gudep. Sementara jumlah pelatih ada 18 ribu, staf/profesional ada seribuan orang dan pengurus (yaitu andalan, majelis pembimbing, pimpinan saka) sekitar 159 ribu orang.
Apa yang menjadi penyebab? Salah satunya karena materi latihan dan kegiatannya tidak menarik minat anak-anak dan remaja. Bayangkan, di gudep SMP, materi keterampilan kepramukaan yang tradisional masih mendominasi, antara lain tali temali, semaphore, morse, sandi, mencari jejak dan sejenisnya.
Hal yang sama juga di tingkat SMA, dengan penambahan materi pengenalan kompas, pionering, sandi, survival, yel-yel, sejarah pramuka dan keterampilan lainnya.
Birokratisasi di Kwartir
Gudep adalah satuan pendidikan dan satuan organisasi terdepan penyelenggara pendidikan kepramukaan. Sedangkan kwartir adalah satuan organisasi pengelola yang dipimpin secara kolektif pada setiap tingkatan wilayah. Gudep menjadi ujung tombak pembinaan pramuka.
Akan tetapi, dari 250 ribu gudep di Tanah Air, banyak yang tidak aktif. Masalah di gudep dan tenaga pendidik pramuka tidak lepas dari lemahnya kepemimpinan, kebijakan dan pengorganisasian oleh kwartir. Apa saja masalahnya?
Pertama, sebagian besar kwartir ranting (organisasi pramuka di tingkat kecamatan) tidak memiliki staf profesional yang bekerja penuh.
Bahkan ada kwartir ranting (kwarran) yang tidak punya sekretariat dan kegiatan yang jelas serta terprogram.
Di kwartir cabang, staf profesional yang ada, juga kurang memiliki kompetensi untuk mengorganisasi kegiatan dan membimbing gugusdepan serta pembinanya. Jumlah staf sedikit dengan penghasilan yang relatif rendah.
Kedua, lemahnya kapasitas pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat) di daerah. Banyak pelatih yang berusia lanjut dan kurang mengikuti isu-isu terkini di masyarakat. Kwartir dan pusdiklat juga jarang mendampingi gudep dan para pembinanya.
Topik dari materi untuk penyegaran pelatih atau pertemuan pembina kurang selaras dengan isu-isu terkini seperti masyarakat digital, media social, hoaks, degradasi lingkungan, perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan (SDG).
Ketiga, persoalan kesulitan dana. Selama ini, dana APBN atau APBD menjadi sumber utama kwartir untuk mengelola organisasi dan membiayai kegiatannya.
Pada APBN 2020, Kwarnas Pramuka hanya mendapat dana hibah Rp 6 miliar. Tahun sebelumnya cuma Rp 4 miliar dan tahun 2018 hanya Rp 4 miliar. Nilai APBD untuk Kwarda bervariasi, tergantung kekayaan daerah.
Akan tetapi nilainya berkisar antara Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar pertahun. Untuk Kwarcab, lebih rendah lagi, antara Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. Dana sebesar itu tidak cukup untuk membiayai kegiatan pramuka di pusat dan daerah.
Keempat, persoalan dana memaksa internal pramuka melobi kepala daerah atau kerabatnya untuk menjadi ketua kwartir. Pada masa Orde Baru, ketua Kwarda atau Kwarcab biasanya berasal dari wakil kepala daerah, kepala kepolisian, sekretaris daerah, kepala dinas atau pejabat eselon.
Sejak lima tahun terakhir sejumlah istri Gubernur menjadi ketua Kwarda. Banyaknya jumlah pramuka dianggap sebagai ladang suara pada Pilkada.
Model pemilihan langsung ketua kwartir makin mengentalkan politisasi di Gerakan Pramuka. Dampak negatifnya, kwartir jadi semakin birokratis, kepanjangan tangan pemerintah daerah dan berpotensi menjadi alat kekuasaan.
Revisi UU Pramuka dan Tata Kelola Kwartir
Untuk meningkatkan minat kaum muda dan memperbaiki kualitas organisasi, memang perlu dilakukan revisi UU Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
Revisi khususnya pada aturan tentang kewajiban Presiden dan Kepala Daerah untuk mengalokasikan dana APBN/APBD dengan jumlah yang signifikan kepada kwartir.
Karena di dalam UU Nomor 12/2010 tidak ada penegasan, hanya disebut bahwa pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dana dari APBN atau APBD.
Sebagai organisasi pendidikan non-formal yang terbesar dan tertua di Tanah Air, Gerakan Pramuka semestinya masuk dalam skema alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4.
Revisi lainnya terkait dengan perubahan cara pemilihan ketua kwartir yang melalui Tim Formatur, bukan lagi lewat pemilihan langsung seperti di partai politik atau organisasi kemasyarakatan.
Di dalam Tim Formatur ada unsur kwartir yang lama, utusan kwartir dibawahnya dan utusan majelis pembimbing.
Ketua Mabi (Presiden dan Kepala Daerah) dapat memberikan masukan terhadap calon ketua kwartir yang benar-benar memahami tentang kepramukaan. Konsekuensinya Mabi bakal mengalokasikan dana hibah APBN/APBN bagi kwartirnya.
Solusi lainnya adalah mendorong pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarakat sipil memfasilitasi kwartir untuk membentuk gudep berbasis komunitas di rukun warga/dusun atau desa/kelurahan. Di kota metropolitan, gudep dapat dibentuk di kompleks perumahan, rumah susun atau apartemen.
Selain itu melakukan desentralisasi kebijakan penyusunan metode dan materi pendidikan ke kwarda-kwarda. Mereka dapat mengambil pelajaran dari praktik baik tiga lembaga swadaya masyarakat di Jawa Timur, yaitu Tunas Hijau, Klub Tunas Paralayang dan Putra Rimba.
Ketiganya didirikan aktivis dan mantan pramuka pada 1999 dan hingga saat ini masih aktif serta berhasil membina ribuan pramuka siaga, penggalang dan penegak Jawa Timur untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan kedirgantaraan, Kunci suksesnya pada model pengelolaan yang inovatif, kreatif dan tidak birokratis.
Oleh karena itu, pengelolaan kwartir harus kembali ke khitah atau back to scouting. Gerakan Pramuka adalah organisasi gerakan dan persaudaraan sehingga model kepemimpinan di kwartir hingga gudep harus bersifat kolektif dan kolegial dengan disertai keteladanan.
Ketua kwartir yang menjadi pejabat atau kerabat kepala daerah harus menempatkan dirinya sebagai “kakak.” Kwartir juga mesti mengadopsi tata kelola World Organization of the Scout Movement (WOSM).
Yaitu transparan, akuntabel dan efisien, yang terhubung dengan strategi Gerakan Pramuka secara keseluruhan dan berfokus pada pencapaian visi dan misi organisasi. Termasuk juga ikut mendukung misi Gerakan Kepanduan Sedunia yakni “Mewujudkan Dunia yang Lebih Baik.”
***
*) Penulis adalah Jurnalis dan aktivis Gerakan Pramuka