PRAMUKA.ID – Di bulan Agustus, bulan kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat terbiasa merayakannya dengan berbagai kegiatan mulai dari upacara, renungan suci, pembuatan dan pemotongan tumpeng, lomba seni tradisional dan lain-lain. Semangat merayakan kemerdekaan tersebut sangat bagus dan memupuk semangat kebangsaan sebagai warga negara Indonesia.
Sayangnya di saat pandemi Covid-19 seperti ini, berbagai kegiatan tersebut sulit dilakukan terkait dengan perlunya jaga jarak fisik (physical distancing) dan jarak sosial (social distancing) untuk menghindari penyebaran virus Covid-19. Upacara pun harus dilaksanakan secara online melalui berbagai platform media digital yang ada.
Di saat usia Republik Indonesia yang mencapai 76 tahun, banyak kemajuan yang telah diraih oleh bangsa ini. Pencapaian dalam berbagai bidang juga telah dilakukan. Demikian pula dengan masalah serius yang menyertai pembangunan. Masalah tersebut adalah karakter bangsa ini. Tanpa pembangunan karakter yang benar, semangat persatuan dan kesetiakawanan sosial masyarakat semakin luntur.
Di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, karakter bangsa yang sangat lemah terlihat jelas. Berbagai kasus seperti penipuan sertifikat kesehatan, penimbunan bahan pokok, pemalsuan produk masker, pengusiran terhadap tenaga medis dari tempat tinggal, pengambilan paksa hingga penolakan pemakaman jenazah yang terduga virus Covid-19 menjadi cermin bagaimana kesetiakawanan sosial merupakan sebuah mimpi yang belum tercapai sejak Indonesia merdeka.

Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyebaran virus Covid-19 meskipun korban yang meninggal dunia telah mencapai jumlah besar. Penghargaan terhadap keberagaman suku, agama dan istiadat di Indonesia semakin berkurang akibat timbulnya sikap intoleran dan juga perkembangan radikalisme agama di Republik ini.
Kesuksesan pembangunan suatu negara sesungguhnya bertumpu pada keseimbangan antara pembangunan yang bersifat tangible dan intangible. Pembangunan yang bersifat tangible lebih pada pembangunan yang bersifat fisik seperti pembangunan infrastruktur dan penyediaan barang modal. Adapun pembangunan yang bersifat intangible mengacu pada pembangunan karakter manusia selaku warga negara baik dari segi pendidikan formal maupun informal. Setelah era Presiden Soekarno, Indonesia lebih menggenjot pembangunan fisik dibandingkan pembangunan karakter manusia. Sayangnya pembangunan bersifat fisik pun tidak berjalan dengan optimal akibat kekosongan dalam pembangunan karakter manusia Indonesia.
Sebagian profil karakter manusia Indonesia yang terbentuk terbatas pada meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal tersebut tanpa disadari menjadi penyebab bertaburnya tindak pidana korupsi sebagai wujud nyata pembangunan yang hanya bertumpu pada fisik. Bagaimana membangun karakter bangsa secara menyeluruh di saat pandemi seperti saat ini?
Di bulan Agustus, peringatan Hari Kemerdekaan juga diiringi dengan peringatan Hari Pramuka setiap 14 Agustus. Tahun ini adalah Hari Pramuka ke-60.
Pramuka merupakan oasis di tengah gurun pembangunan karakter bangsa ini. Terbersit asa bahwa pembangunan karakter bangsa ini masih dapat diperbaiki.
Gerakan kepanduan di Republik ini memiliki sejarah yang cukup lama sejak masa Pemerintahan Hindia-Belanda. Tahun 1912 latihan sekelompok pandu diselenggarakan di Batavia (Jakarta). Hasil dari latihan tersebut kemudian berkembang menjadi cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO). Tahun 1914, cabang tersebut kemudian diresmikan menjadi organisasi tersendiri bernama Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda. Kala itu, sebagian besar anggota NIPV adalah pandu-pandu keturunan Belanda.
Tahun 1916 Mangkunegara VII membentuk Javaansche Padvinders Organisatie, organisasi kepanduan pertama yang didukung oleh para bumiputera. Setelah pembentukan organisasi tersebut, muncullah organisasi kepanduan berbasis agama, kesukuan dan lainnya, seperti Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Kepanduan Bangsa Indonesia, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Kesultanan, El-Hilaal, Pandu Ansor, Al Wathoni, Tri Darma (Kristen), Kepanduan Asas Katolik Indonesia dan Kepanduan Masehi Indonesia.
Perkembangan kepanduan di Hindia-Belanda menarik perhatian pula dari Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell. Beliau bersama istrinya, Lady Baden-Powell mengunjungi organisasi kepanduan di Batavia, Semarang, dan Surabaya, pada awal Desember 1934.
Pasca kemerdekaan, tepatnya pada 27-29 Desember 1945, berlangsung Konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta. Kongres tersebut menghasilkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan di Indonesia. Di dalam perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo).
Untuk mempersatukannya, Presiden Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu merupakan Pandu Agung menginisiasi penyatuan berbagai organisasi kepanduan. Presiden Soekarno mengumpulkan tokoh pemimpin gerakan kepanduan dari seluruh Indonesia. Seluruh organisasi kepanduan yang ada, dilebur menjadi satu dengan nama Pramuka atau Praja Muda Karana yang artinya “Jiwa Muda Yang Suka Berkarya”.
Tanggal 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat luas dalam suatu upacara di halaman Istana Negara melalui penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang juga menjadi Ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Tanggal 14 Agustus tersebut lalu ditetapkan sebagai Hari Pramuka.

Di era teknologi digital seperti saat ini, pembangunan karakter menghadapi tantangan yang luar biasa. Terlebih dengan adanya penyebaran virus Covid-19 yang menjadi pandemi di seluruh dunia. Individualisme dan sikap mementingkan diri sendiri menjadi tantangan tersendiri. Di sinilah peran Gerakan Pramuka sebagai pandu negara ini.
Kehadiran Gerakan Pramuka perlu diwujudkan dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh kehadiran Pramuka dalam mendukung bantuan penyelamatan hingga pendampingan terhadap anak-anak usia sekolah korban bencana alam dan konflik sosial akan sangat membantu meringankan beban masyarakat terdampak. Dukungan dari Gerakan Pramuka akan menjadi sebuah role model yang membangun kesetiakawanan sosial di negara ini.
Kehadiran Gerakan Pramuka di berbagai wilayah akan membangun karakter, etika dan prinsip yang benar terhadap persatuan dan nasionalisme. Ini merupakan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang telah lama hilang. Pemerintah perlu lebih serius mendorong kembali kehadiran Pramuka, Sang Pandu Negara di tengah-tengah masyarakat.
***
Penulis: Dr. Andre Notohamijoyo (Pemerhati Kebangsaan)