Nunuk Hidayati sejak kecil ingin jadi Pramuka. Dia suka dengan kegiatan berkemah dan berpetualang. Baru di kelas 4 SD Nunuk bergabung di Gerakan Pramuka.
Saat itu sekolahnya mau diakreditas, Pramuka ingin unjuk yel-yel. Untuk itu diadakan seleksi, dan Nunuk ingin sekali ikut. Tapi dia tidak dipilih karena gerakannya kaku dan suka salah.
“Saya kadang tidak bisa ikutan latihan yel-yel itu karena saya jualan es keliling,” cerita gadis kelahiran Tuban, 15 April 1997. “Kalau latihan kepramukaan yang seminggu sekali saya masuk terus.”
Tapi Nunuk tidak putus asa. Dia terus berjuang, “Ok, saya akan buktikan bahwa saya bisa berprestasi,” kata Nunuk yang pernah di Dewan Penggalang di gudepnya.
Sejak kelas satu SD, Nunuk berjualan es lilin. Kepala sekolah yang kebetulan tetangganya itu membawakan satu termos es dan Nunuk keliling untuk menjajakan es tersebut. Apakah terpaksa? “Tidak. Orang tua saya dagang pisang. Saya berpikir, seru ya dagang. Saya coba jualan es. Saya senang, bisa kumpulin uang jadi kan punya uang sendiri. Ya… untuk tambahan uang saku dan juga membantu orang tua. Kalau bulan puasa jam lima sore saya jualan es batu.”
Jadi, tidak ada dalam dirinya itu kata “putus asa” dan “malu”. Misalkan dalam berdagang. Saat SMA dia bantu orangtua jualan pisang di pasar. Bila ada teman sekolah dia tetap tersenyum. Nunuk malah bangga. Baginya, anak muda harus memiliki pemikiran jauh ke depan. Orangtua memang memberikan fasilitas ke anak, tapi kita harus membantu dalam bentuk apa pun.
Nunuk sadar orang tuanya hanya pedagang kecil. Justru itu memberinya contoh. Dia semangat berdagang dan belajar. Selama SD ranking rapor selalu tiga besar. Bahkan masuk kuliah pun dia dapat beasiswa Bidik misi.
Sebelum wabah Corona, Nunuk diwisuda dan mendapat gelar Mahasiswa Terbaik se Fakultas, beda nilai 0,02 dengan Mahasiswa Terbaik di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Nunuk bangga jadi Pramuka. Dia menunjukkan meski aktif berkegiatan di Gerakan Pramuka dan sambil berdagang dia bisa selesaikan kuliah hanya 7 semester.
“Saat kuliah saya jualan beras. Saya beli beras di Tuban lalu bawa ke asrama. Di Surabaya saya tinggal di asrama. Saya jualan dari kamar ke kamar, hahaha. Setiap ada kerumunan orang saya datangi dan tawarkan beras. Saya hanya ambil untung 100 rupiah. Saya merasa cukup memperoleh untung sebesar itu karena saya kan dapat beasiswa.”
Latihan di gudep iya, berdagang masih dan sekolah lancar, Nunuk pun ada banyak prestasi antara lain: Juara 3 lomba pidato MI Husnul Aulad, juara 3 lomba kaligrafi MI Husnul Aulad, Juara 2 menulis dan membaca berita MAN 2 Tuban, dan Juara 2 badminton tunggal putri MAN 2 Tuban. Pada tahun 2016 nilai Ujian Nasional Nunuk adalah tertinggi di Kabupaten Tuban (tingkat Madrasah Aliyah, IPA).
Nunuk beberapa kali mengalami kekecewaan. Selain di SD, saat SMP pernah: tidak terpilih ikutan LT 3. Pada waktu SMA, Nunuk tidak terpilih jadi peserta Raida Jawa Timur. “Biaya ikutan Raida itu Rp 1.500.000 saya hanya punya Rp 500.000,” cerita anak ketiga dari empat bersaudara ini.
“Tidak apa-apa karena saya yakin Allah memberikan yang lebih baik. Saya dipilih jadi Pinkonda Jawa Timur ke kegiatan Rainas 2017 di Jakarta.”
Nunuk suka berorganisasi. Semua itu berawal dia aktif di Dewan Penggalang MI Husnul Aulad dan Dewan Penggalang SMPN 1 Plumpang. Lalu berlanjut di Dewan Ambalan dan Dewan Racana. Kemudian mencoba di Dewan kerja. Ada seleksi menjadi anggota Dewan Kerja Ranting (DKR) Plumpang, dia ikut dan terpilih. Terus dari DKR Plumpang ke Dewan Kerja Cabang (DKC) Tuban. Dan, kini sebagai Wakil Ketua Dewan Kerja Daerah (DKD) Jawa Timur.
Keberhasilannya ini karena dia mau belajar dan semangat. Nunuk yang sudah Pramuka Pandega ini mempunyai prinsip, “Di mana bumi itu dipijak, langit harus dijunjung”. Ketika dia berada di Gerakan Pramuka, peserta terbaik di KMD Kwarcab Surabaya tahun 2017 ini menjunjung tinggi Gerakan Pramuka.
Sarjana Hukum Perdata Konsentrasi Hukum Keluarga ini pada tanggal 12 Agustus 2020 mendapat penghargaan: Pramuka Teladan dari Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Namun, siapa sangka, Nunuk justru mempunyai cita-cita jadi petani. “Menjadi petani itu bukanlah saya harus memiliki sawah. Tetapi bagaimana saya peduli terhadap pertanian. Karena menurut saya, saat ini peminat di kalangan muda profesi di bidang pertanian itu minim. Hm, padahal petani itu adalah sumber daya alam terbesar yang dimiliki di Indonesia. Ya…. seharusnya penting bagi anak muda untuk terjun pada dunia pertanian.”
Teks: M. Hilal/Fitri
Foto: Kak Sis dan Dok. Pribadi