PRAMUKA.ID – Diketahui dari kemenag.go.id, program moderasi beragama merupakan bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah nomor 87 Tahun 2017. Dalam peraturan tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang terintegrasi dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Salah satunya, terdapat beberapa karakter yang perlu diberikan dalam pendidikan, yaitu perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi lebih baik.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, moderasi beragama adalah salah satu solusi terbaik saat ini dalam mengantisipasi potensi konflik di negara yang memiliki keragaman seperti Indonesia.
Hal itu, ia sampaikan saat menjadi keynote pada acara International Conference On Religious Moderation (ICROM) secara Hybrid di Jakarta Rabu (27/7/2022).
Jumat sampai dengan Sabtu (17-18/2/2023), Kemenag Banyuwangi menggelar perkemahan moderasi beragama bertempat di MAN 2 Banyuwangi yang diikuti oleh 500 Pramuka dari lintas agama sebagaimana diberitakan bwi24jam.co.id/pertama-kali-di-indonesia-kemah-moderasi-beragama-sukses-digelar-man-2-banyuwangi.
Kementerian Agama dalam kanal media sosialnya menyebutkan, indikator utama moderasi beragama diantaranya komitmen Kebangsaan, toleransi, anti Kekerasan, penerimaan terhadap tradisi.
Lalu, bagaimanakah praktik moderasi beragama di dalam Gerakan Pramuka?
Untuk itu, mari kita bedah syarat kecakapan umum (SKU) Pramuka khususnya yang mengandung nilai moderasi beragama.
Pada poin 3 SKU Bantara disebutkan bahwa pramuka penegak bantara mampu mengikuti jalannya diskusi dengan baik.
Maksudnya, seorang pramuka diajarkan untuk mengutamakan dialog dalam menyelesaikan persoalan. Dengan demikian, ia menyadari bahwa dalam menyelesaikan persoalan tidak perlu ada kekerasan.
Lebih lanjut poin 4 SKU Bantara mensyaratkan, untuk mencapai kecakapan umum penegak bantara maka seorang pramuka dituntut dapat saling menghormati dan toleransi dalam bakti antar umat beragama.
Penulis menilai, jauh hari sebelum gema ‘moderasi beragama’ ini digaungkan, Pramuka sudah berupaya menanamkan nilai kebangsaan dan toleransi sehingga pada praktiknya bukanlah hal baru.
Sedangkan indikator penerimaan tradisi, SKU Bantara poin 10 seorang penegak dituntut mampu menampilkan kesenian daerah di depan umum minimal satu kali.
Maknanya, Pramuka tidak alergi terhadap tradisi bahkan lebih-lebih ikut serta berpartisipasi melestarikan tradisi.
Tantangannya, pembina pramuka sudah selayaknya kembali memperhatikan syarat-syarat dalam SKU sebagai pokok bahasan yang menarik. Karena kalau pembina pramuka tidak memahami hal ini dengan baik maka ada kecenderungan syarat tersebut diabaikan atau dinilai tidak penting.
Kesimpulannya, persoalan bangsa yang maunya diobati dengan formula “moderasi beragama”, siapa sangka pola pendidikan Gerakan Pramuka sudah mengimplementasikannya sejak lama.
***
Mohamad Arif Fajartono, SST, M.Med.Kom: Penulis adalah Pelatih Pembina Pramuka yang tergabung dalam Pusat Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pramuka tingkat Cabang (Pusdiklatcab) Macan Putih Banyuwangi, Jawa Timur.