Bapak Sumadi setelah pensiun dari kepolisian memilih profesi sebagai petani. Dia tinggal di pemukiman dekat Proyek Transmigrasi Angkatan Udara di Abung Semuli, Lampung Utara. Bapak yang terakhir berpangkat Peltu ini sudah tidak bertani karena kadang kaki kram. Mata dan daya ingatnya masih bagus.
Masa Pandemi ini dia berada di rumah saja. Kadang berganti ke rumah anaknya yang satu ke anak yang lain dengan mengendarai mobil sendiri di usia 91 tahun.
Ada satu cerita yang masih lancar diceritakannya. Saat dari pramuka.id datang dia pun menuturkan kisahnya tentang Bapak Pramuka Indonesia: Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Cerita ini sudah tersebar ke mana-mana dan yang bercerita orang lain karena kejadiannya dilihat khalayak umum. Ini cerita tentang bakul beras.
Pada portal Merdeka.com tertanggal 12 April 2012 kisah bakul beras diceritakan oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Dalam buku ‘Takhta Untuk Rakyat’ menceritakan bagaimana dirinya mengalami langsung sikap ringan tangan Sultan. Dia penasaran lihat kerumunan dan di sana ada bakul beras dan polisi.
Nah, salah satu polisi ini adalah Sumadi. Ini cerita dari pak Polisinya:
Suatu hari Minggu siang pada tahun 1954. Kak Sultan mengendarai mobil jeep favoritnya. Dia kenakan kaos berlengan pendek warna putih dan bercelana pendek warnanya putih juga. Kak Sultan dari arah Kaliurang dan ketika melewati Pasar Pakem, mobilnya distop oleh seorang wanita.
Wanita itu menyuruh Kak Sultan mengangkat beras, kubis, dan cabai. Tanpa banyak bicara, Kak Sultan mengangkutnya. Berasnya Kak Sultan letakan di bagian depan, sebelah jok yang dia duduki saat menyupiri. Sedangkan sayuran di bagian belakang.
Mobil itu berhenti di pinggir Pasar Kranggan. Kemudian Kak Sultan menurunkan karungan beras, kubis, dan cabai dari mobilnya. “Saya lagi dinas di Pingit dekat pasar Kranggan. Saya melihat Sri Sultan turunkan beras. Eit…saya takut. Saya dan kawan langsung mendekati dan memberi hormat. Tapi barang sudah diturunin semua,” cerita Sumadi.
Melihat Sri Sultan pulang, bakul beras itu bicara keras, “Eh, ngko disik. Lho kepiye iki. Durung diupahi wis lungo. Opo ora doyan duit. Ini lho…, ini duite.”
“Mbakyu kenapa lho. Kok iso ngono. Mbak gak tahu siapa itu?”
“Ini supir tadi.. ora doyan duit.”
“Itu Ratumu: Sri Sultan Hamengku Buwono.”
Bakul beras itu kaget lalu pingsan di trotoar. Sumadi pun bingung karena pingsannya lama, di troroar. Setiap siuman, pingsan lagi. Lalu dia dan kawannya membawa ibu itu ke RS Bethesda. Tapi ya itu…, tiap ingat dia pingsan.
Pada pukul 4 sore Kak Sultan menjenguk bakul beras di RS Bethesda. Melihat Kak Sultan, bakul beras itu pun jalannya mbrangkang dan menyembah meminta maaf berkali-kali.
>”Kowe ora salah. Wis rapopo ndang mari. Wis rapopo. Kowe ora salah. Kowe ora ngerti. Nek kowe ngerti, yo kowe salah,” kata Kak Sultan.
Setelah Kak Sultan pulang, bakul beras pun sembuh.
Mendengar cerita tersebut dan cerita lain dari kakek Sumadi, tergambarkan betapa Kak Sultan itu dihormati dan dicintai rakyatnya. Meski beliau seorang raja, Kak Sultan merakyat. Dia tidak sombong. Dalam menolong kak Sultan tidak pilih-pilih, sabar dan berhati mulia.
Teks & Foto: Fitri H.
(Seperti yang diceritakan Kakek R. Sumadi kepada penulis.)