Ada dua studi penting dan menarik yang dirilis Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kwarnas Gerakan Pramuka. Pertama, Angka dan Data Gerakan Pramuka Tahun 2020.
Dari kajian ini, ternyata jumlah anggota Gerakan Pramuka tercatat 25,2 juta orang dengan komposisi 24 juta adalah peserta didik dan 1,2 anggota dewasa.
Anggota peserta didik, sebanyak 8,8 juta adalah pramuka siaga (usia 7-10 tahun), 11,2 juta (pramuka penggalang: 11-15 tahun), sebanyak 3,7 juta penegak (16-20), dan 161.321 orang adalah pandega (21-26).
Jumlah pembina sebanyak 1.023.760 orang dan pelatih pembina sebanyak 18.217 orang. Mereka berlatih di 238.068 Gudep yang berpangkalan di sekolah dan 1.638 di wilayah pemukiman.
Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar peserta didik adalah siaga dan penggalang (pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah pertama). Ada penurunan (anjlok) anggota dari golongan penggalang ke penegak (pelajar SMA) dan dan pandega (mahasiswa).
Tidak jelas faktor yang menyebabkan hal ini. Padahal, Peraturan Kemendikbud Nomor 63 Tahun 2014 yang mewajibkan kegiatan pramuka sebagai ekstrakurikuler juga berlaku di sekolah menengah.
Kedua, Laporan Survei Peran Kwartir Ranting (Kwarran) Pramuka se-Jawa dan Bali Tahun 2021-2022. Ada sejumlah temuan penting. Rata-rata usia pengurus Mabiran dan Kwarran antara 36 sampai dengan 60 tahun.
Latar belakang profesi mereka adalah para pendidik (58%), unsur ASN, TNI, Polri di kecamatan (8%) dan unsur masyarakat (6%). Dilihat dari pendidikan, sebagian besar (93%) adalah alumnus perguruan tinggi (S1 dan S2).
Di lapangan, kita mencatat bahwa banyak ketua Kwarran adalah kepala sekolah negeri atau penilik sekolah, dan mayoritas anggotanya adalah para guru sekolah.
Hal ini merupakan konsekuensi dari dominannya Gudep yang berpangkalan di sekolah dimana pembinanya kebanyakan guru yang mengajar di lembaga pendidikan tersebut. Gambaran semacam ini memperlihatkan bahwa Kwarran merupakan kepanjangan tangan dari Suku Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Apa implikasi dari gambaran semacam itu ?
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan bahwa masalah utama pendidikan kita adalah kualitas guru. Menurut Nadiem Makarim (dalam podscats Gita Wirjawan) tidak ada korelasi antara asesmen dan gelar akademis guru walau punya gelar S3 sekalipun dengan kemampuannya mengajar.
Karena kemampuan mengajar ditentukan oleh dua hal dasar, pertama untuk apa dia menjadi guru, apakah ingin membantu generasi muda meraih masa depan yang lebih baik atau apakah karena itu satu satunya pilihan yang tersedia baginya.
Pada tahun 1970-an sampai dengan 2000-an, lulusan SMA yang ingin mendaftar ke perguruan tinggi dapat melalui tiga jalur. Perintis I (ujian masuk 10 PTN terbaik di Indonesia) dan Perintis II yang merupakan penelusuran minat dan bakat dengan jurusan terbatas (jalur undangan).
Jika gagal, mereka ikut ujian Perintis III, perguruan tinggi kelas dua di daerah di luar ibu kota provinsi seperti di Purwokerto, Solo, dan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi). Jika gagal, mereka ikut Perintis IV ke perguruan tinggi Pendidikan yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
Nadiem Makarim menjelaskan bahwa jarang sekali mahasiswa langsung mendaftar ke Perintis IV sehingga dapat diasumsikan pada masa itu, bahwa lulusan IKIP yang kemudian menjadi guru umumnya bukanlah anak-anak muda dengan potensi terbaik. Para guru SD, SMP, SMA saat ini adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan IKIP di era itu.
Hal dasar kedua adalah Menteri Nadiem Makarim mengatakan guru harus percaya dan ingin terus mengembangkan dirinya menjadi lebih baik sehingga semangat ini akan menular ke peserta didiknya. Guru tidak boleh merasa paling benar, anti-kritik dan feodal. Bisa dibayangkan seperti apa kelak murid yang dididik guru bermental seperti itu.
Penulis juga menjadi pengajar dan selalu meng-update dengan pengetahuan yang baru. Pada saat penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mahasiswa sering mengkritik dosen dan guru besar. Mereka tidak marah dan menerima masukan tersebut karena diatas langit masih ada langit.
Kurikulum Merdeka Belajar yang jadi program andalan Menteri Nadiem Makarim, selain menuntut guru harus memahami kualitas masing-masing muridnya juga harus terus belajar agar semua muridnya bisa mencapai kemampuan yang optimal. Literasi dan numerasi menjadi dua komponen terpenting dalam kurikulum ini karena membuat peserta didik berpikir dan berbicara terstrukur, sistematis, konstruktif dan problem solving.
Tujuannya adalah membuat peserta didik menjadi lifelong learners. Karena itu proses belajar sejak mereka awal sekolah harus menarik dan menyenangkan, yang tidak akan mungkin terjadi jika gurunya tidak memenuhi kedua kriteria di atas.
Namun jika para guru memahami kurikulum ini dengan baik, mereka dapat menjadi pembina pramuka yang luar biasa. Mengapa? Karena hanya kualitas pembina pramuka seperti yang dituntut dari guru dalam kurikulum ini yang bisa menjadikan Gerakan Pramuka sebagai gerakan yang sistematis, terstruktur dan adaptif.
Gerakan yang secara terus menerus membentuk generasi muda yang mandiri, disiplin, memiliki kecakapan hidup, berbudi luhur dan berkepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa.
Pada masa penjajahan Belanda dan awal kemerdekaan, guru adalah profesi yang sangat mulia (officum nobile) di masyarakat karena pada masa itu yang bisa menjadi guru adalah orang-orang terbaik, secara bibit, bebet dan bobot. Mereka dipanggil di daerah penulis sebagai Tuan Guru.
Penulis tidak tahu persis kapan kualitas guru menurun sangat tajam. Pada masa penulis sekolah dasar swasta tahun 1970 an di Jakarta Selatan, kualitas guru sudah sangat menurun, secara ilmu dan secara moral, kasus seperti pelecehan seksual sudah mulai terdengar.
Rendahnya kualitas guru menjadi bagian dari sebuah mesin birokrasi raksasa yang menjalankan negeri ini yang bernama pegawai negeri. Mental birokrat umumnya adalah ambtenaar, lambat dan kaku.
Penelitian Puslitbang Kwarnas menemukan data bahwa mayoritas pengurus Kwartir Ranting adalah guru, pegawai negeri yang sudah terbiasa nyaman dalam birokrasi.
Sumber utama kegiatan Kwarran adalah dana APBD dan mitra utama adalah dinas dan instansi pemerintah. Hanya 5-12 % responden survei yang menyatakan Kwarrannya bekerja sama dengan dengan dunia usaha atau profesional.
Hambatan utama yang mereka rasakan adalah terbatasnya kompetensi SDM Kwarran, belum jelasnya regulasi dan persepsi masyarakay yang kurang positif terhadap Gerakan Pramuka sehingga sulit memberikan dukungan.
Penulis berharap Kurikulum Merdeka dapat menaikkan kualitas pembina pramuka yang berasal dari guru, yang nantinya membawa perbaikan pada Kwarran. Mereka dituntut menjadi pembina yang profesional agar adik-adik pramuka siaga, penggalang dan penegak dapat berpikir dan berbicara terstrukur, sistematis, konstruktif dan problem solving.
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tentunya harus mendukung peningkatan kapasitas Kwarran, Gudep dan pembina pramuka. Baik melalui alokasi anggaran, dan pelatihan-pelatihan serta kegiatan lainnya.
Kak Irsyad Noeri : Advokat, staf pengajar, dan pemerhati Gerakan Pramuka