JAKARTA – Media sosial tidak ubahnya narkotika, pabrik dopamin yang membuat kita terlena dan akhirnya menjadi ketagihan. Pernyataan itu disampaikan Anna Lembke, dosen di Stanford Universty, Amerika Serikat di dalam film dokumenter bertajuk The Social Dilemma. Film besutan Jeff Orlowski ini dirilis di Netflix, awal September lalu.
Kak Untung Widyanto memaparkan film The Social Dilemma ketika mengawali acara webinar seri ketiga yang diselenggarakan Komisi Kehumasan dan Informatika Kwartir Nasional Gerakan Pramuka pada Sabtu pagi, 3 Oktober 2020. Topik webinar adalah “Bagaimana Pramuka Menggunakan Media Sosial Agar Bermanfaat.” Moderator acara adalah Kak Sukma Widhya, Andalan Nasional Komisi Kehumasan dan Informatika.
Dalam paparannya selama satu jam, Kak Untung Widyanto, Andalan Nasional Komisi Kehumasan dan Informatika, menjelaskan tentang mudarat dan manfaat media sosial. Serta bagaimana Gerakan Pramuka menggunakannya dengan bijaksana sehingga membawa manfaat bagi anggota (peserta didik dan orang dewasa) dan organisasi.
Film selama 1,5 jam tersebut mewawancarai mantan petinggi Google, Facebook, Twitter dan Pinterest. Yaitu Tristan Harris (mantan desainer etika Google), Tim Kendall (mantan Direktur Pinterest dan Direktur Monetisasi Facebook) dan Jeff Seibert, mantan bos Twitter. Lalu, Justin Rosentein (pencipta tombol like di FB) dan Guillaume Chaslor, penemu algoritma rekomendasi video yang membuat kita betah berlama-lama di YouTube.
Mereka mengaku bahwa notifikasi, tombol like/suka, sistem refresh dan lainnya sengaja dibuat agar kita terus mantengin Internet dan akun medsos melalui ponsel atau laptop. Semakin lama kita berselancar di platform media sosial tersebut, makin besar keuntungan yang mereka peroleh. Dari mana uang yang mereka dapat? Dari perusahaan yang memasang iklan, individu atau lembaga yang menyampaikan konten atau pesannya ke publik. Ada juga pemerintah yang memanfaatkan platform media sosial ini untuk membungkam suara oposisi.
Kak Untung Widyanto yang sejak 1991 menjadi wartawan menjelaskan, terdapat pula partai atau politisi yang bertarung dalam pemilihan presiden, gubernur atau jabatan publik lainnya yang menggunakan media sosial. Contohnya yang dilakukan Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik Inggris, yang mencuri data pribadi 50 juta pengguna Facebook. Jasa mereka digunakan oleh Tim Sukses Donald Trump dalam Pilpres di AS tahun 2016. Konsultan ini juga dipakai dalam Pilpres di Brasil, pemilihan umum di India, Italia, Malaysia dan Indonesia.
Tristan Harris, Tim Kendall, Jeff Seibert, Justin Rosentein dan lainnya membuka sisi gelap perusahaan media social yang memainkan emosi penggunanya untuk meraup keuntungan. Roger McNamee, investor Facebook menjelaskan terjadi pergeseran di Facebook, dari semula “menjajakan produk” menjadi “menjual penggunanya.“
Jeff Orlowski mengutip pepatah lawas: “Bila kau tak membayar suatu produk, berarti kaulah produknya.” Ya, pengguna media sosial hanya dijadikan “angka” oleh manajemen Google, Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Publik memang bebas dan tidak perlu membayar kepada mereka untuk memiliki akun, mengirim email, update status atau berselancar setiap menit.
Narkotika atau candu media sosial itu memberikan hasil. Berdasarkan laporan terbaru We Are Social, pada tahun 2020 disebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan 17% atau 25 juta pengguna internet di negeri ini. Berdasarkan total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka itu artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya.
Adapun medsos yang paling banyak ‘ditongkrongi’ oleh pengguna internet Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit, Sina Weibo.
Dalam sehari, berapa jam rata-rata mereka gunakan kehidupannya di media sosial. Riset We Are Social, pada 2019, mencatat yaitu sebanyak 8 jam 36 menit. Durasi waktu itu digunakan untuk memelototi akun medsos selama 3 jam 26 menit; melihat TV streaming atau video selama 2 jam 52 menit dan sebanyak 1 jam 22 menit untuk mendengarkan musik. “Walhasil, dalam sehari, sepertiga hidup orang Indonesia terpapar Internet dan jadi konsumen perusahaan media sosial dan teknologi informasi,” kata Kak Untung Widyanto, yang kini menjadi penulis, jurnalis lepas dan trainer.
Menurut Kak Untung Widyanto, pramuka harus hati-hati dan membatasi penggunaan Internet atau media sosial. Jangan sampai kita menjadi kecanduan dan mempengaruhi psikologis. Pendidikan kepramukaan yang mendorong kegiatan di alam terbuka, sistem beregu, sistem tanda kecakapan, pengabdian masyarakat dan persaudaraan dalam bakti, dapat mengurangi dampak negatif media sosial.
“Mari kita buat konten-konten positif dan mendistribusikannya dengan strategi media sosial yang tepat. Baik untuk meningkatkan personal branding pramuka dan mempromosikan citra positif tentang Gerakan Pramuka,” ujar Kak Untung Widyanto, yang pernah menjadi wartawan majalah Editor, Tiras, Tajuk dan Tempo. Dia mengutip pernyataan dari Luke Kintigh, ketika menjelaskan tentang ‘How IntellQ does content promotion. “If content is king, then distribution is King Kong.”
Memang, setelah memaparkan tentang mudaratnya media sosial, Kak Untung Widyanto menjelaskan dampak positifnya. Kwartir Nasional Gerakan Pramuka telah mendorong tagar #SetiapPramukaAdalahPewarta. Menurutnya, pramuka bisa menjadi jurnalis warga untuk memberitakan aktivitas di gugusdepan atau kwartirnya. Selain menulis, mereka bisa membuat video, infografis, foto, meme, komik atau animasi. Mereka dapat melakukan podcast, Tik Tok atau platform lainnya.
Pusat Informasi (Pusinfo) Pramuka di Kwartir Cabang dan Kwartir Daerah, kata Untung Widyanto, mesti mendata pramuka di wilayahnya yang aktif di media sosial atau berpotensi menjadi jurnalis warga. “Buat jejaring dan beri pelatihan serta pendampingan bagi mereka sehingga terus memproduksi konten yang positif,” katanya. Selain pelatihan dan pendampingan, juga adakan lomba-lomba dengan memanfaatkan media sosial bagi peserta didik pramuka atau orang dewasa.
Kegiatan dan lomba atau kompetisi tersebut bisa dikaitkan dengan hari-hari besar nasional (termasuk keagaaman) dan internasional. Untuk kepramukaan, misalnya Hari BP setiap 22 Februari, Hari Tunas, Hari Lahir Bapak Pramuka Indonesia (Kak Sultan HB IX), dan Hari Pramuka 14 Agustus. Untuk nasional, bisa ditambahkan yaitu Hari Lingkungan Hidup 6 Juni, Hari Keanekaragaman Hayati, Ocean Day, Hari Puspa, Hari Kesetiakawanan Sosial, Hari Kesiapsiagaan Bencana dan lainnya. “Pada setiap hari bersejarah dan penting itu, konten positif tentang kepramukaan serentak disebarluaskan secara massif melalui akun media sosial anggota pramuka sehingga menjadi trending topic,” kata Kak Untung Widyanto.
Pada sesi diskusi Webinar, ada pertanyaan dan komentar dari andalan humas di Kwarcab Bau-Bau dan Kwarcab Kota Blitar. Selain itu juga dari Yudha Adhyaksa, ketua Dewan Kerja Nasional masa bakti 2013-2018. “Kita harus mengumpulkan buzer-buzer positif untuk menaikkan konten positif. Kita harus saling mengingatkan dan menguatkan. Semua Pramuka untuk aktif komen, share dan save. Karena di dunia digital, optimis saja tidak cukup harus disempurnakan dengan konten. Butuh konsistensi untuk membaca konten-konten kita,” kata Yudha yang kini menjadi Andalan Nasional Komisi Pembinaan Anggota Muda.
Waka Kwarnas/Ketua Komisi Kehumasan dan Informatika Berthold DH. Sinaulan mengingatkan agar kita perlu berhati-hati dalam men-share berita. “Hindari ujaran kebencian. Perbanyaklah berita positif karena berita positif sekaligus bisa menguatkan imun tubuh sehingga bisa menjadi lebih semangat dan menghindari stress,” katanya. Menurutnya, perbanyak berita positif dengan tetap mengingat panduan WOSM Save From Ham, aman dari bahaya termasuk bahaya internet.
Pada bagian akhir, Kak Untung Widyanto berharap agar pramuka di Tanah Air yang jadi pegiat di media sosial menjadi ujung tombak untuk memproduksi, menyebarkan konten-konten kepramukaan dan memberikan komunikasi yang positif. “Setiap pramuka harus mampu membuat konten yang positif dan bergizi yaitu mentrendingkan konten-konten positif yang harus sesuai dengan Dasa Darma,” kata Kak Sukma Widhya, mengakhiri Webinar kehumasan yang diadakan Kwarnas .
Teks : Kak Indahsetyo
Foto : Kak Haerudin