Gerakan Pramuka yang merupakan gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia adalah organisasi yang telah lama berdiri. Sama seperti gerakan pendidikan kepanduan di negara lainnya, semuanya berawal dari ide seorang bernama Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, seorang purnawirawan Angkatan Darat Kerajaan Inggris.
Baden-Powell atau sering juga disingkat B-P (baca: Bipi) dianggap sebagai pahlawan ketika kembali ke negaranya pada awal 1900. Dia berhasil memimpin pasukannya mempertahankan wilayah Mafeking dari gempuran musuh selama 217 hari. Waktu itu, Mafeking yang kini bernama Mafikeng di Afrika Selatan merupakan wilayah yang dikuasai Inggris. Namun, musuh menyerang untuk merebut daerah itu.
Musuh tahu bahwa persediaan logistik pasukan Baden-Powell saat itu sudah menipis. Demikian pula dengan kelengkapan senjata dan amunisinya sudah jauh berkurang. Baden-Powell masih menanti kiriman logistik dari Inggris. Di tengah penantian itu, musuh menyerang dan Baden-Powell beserta pasukannya terpaksa harus bertahan dengan logistik dan peralatan seadanya.
Selama 217 hari Baden-Powell dan pasukannya bertahan sepanjang pagi sampai malam setiap harinya, sebelum akhirnya bantuan datang dari Inggris. Musuh berhasil ditumpas dan Baden-Powell dianggap sebagai pahlawan.
Namun, ketika Baden-Powell kembali ke Inggris, dia melihat situasi yang kurang menyenangkan di kalangan anak-anak dan remaja di sana, khususnya di London, tempat tinggalnya. Saat itu, Revolusi Industri yang terjadi di Inggris telah mengakibatkan tumbuhnya pabrik-pabrik dan banyak perusahaan. Para orang dewasa, termasuk orangtua anak-anak di sana, akhirnya sibuk bekerja di pabrik dan tempat lainnya.
Tak heran bila Baden-Powell melihat banyak anak dan remaja yang kurang diawasi oleh orangtuanya dan akhirnya berkeliaran di jalan, melakukan tindakan kriminalitas dan berbagai hal kurang baik lainnya.
Namun, di luar masalah itu, Baden-Powell juga melihat bahwa buku karangannya Aids to Scouting, yang ditulis untuk calon-calon prajurit Inggris, ternyata disukai juga oleh guru-guru dan sebagian anak muda. Buku itu walaupun merupakan panduan untuk menjadi prajurit yang baik, memang ditulis dengan gaya bahasa yang menarik. Disertai contoh dan permainan-permainan untuk melaksanakan tugas prajurit, termasuk melakukan pengintaian untuk mengetahui posisi sasaran, cara menjebak musuh, dan sebagainya.
Baden-Powell melihat ada kesempatan menggunakan buku tersebut untuk memberikan kegiatan bagi anak-anak dan remaja, sehingga mereka mempunyai kegiatan yang positif dan menjauhi kriminalitas serta hal-hal kurang baik lainnya. Maka, pada 1 Agustus 1907, Baden-Powell mengajak sekitar 20 anak dan remaja dari London dan sekitarnya untuk berkemah di Pulau Brownsea. Di sana Baden-Powell mengajak anak-anak dan remaja itu melakukan permainan-permainan seperti yang termuat dalam buku Aids to Scouting.
Baden-Powell kemudian memadukan hasil dari perkemahan tersebut dengan buku Aids to Scouting ke dalam serial tertulis yang berjudul Scouting for Boys pada 1908. Pertama kali terbit dalam bentuk buku tipis dan terdiri dari enam seri, Scouting for Boys akhirnya disatukan dalam buky tebal dan segera menjadi buku bestseller di kalangan kaum muda di Inggris.
Buku itu kemudian menjadi awal lahirnya gerakan kepanduan yang dimulai di Inggris dan segera menyebar ke seluruh dunia. Gerakan kepanduan masuk ke Indonesia pada pertengahan 1912, ketika seorang bernama Joh. P. Smits (ada juga menyebutkan P. Joh. Smits), seorang pegawai Jawatan Meteorologi Batavia (nama kota Jakarta di masa penjajahan Hindia-Belanda), mulai mengajak sjeumlah anak-anak pergawai Jawatan Meteorologi itu untuk berlatih kepanduan.
Gerakan kepanduan kemudian berkembang pesat juga di Indonesia, bahkan Baden-Powell bersama keluarganya sempat mengunjungi Hindia-Belanda pada akhir 1934. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kegiatan kepanduan terus berkembang. Bahkan pada akhir 1950-an, dikabarkan ada lebih dari 60 organisasi kepanduan di Indonesia.
Presiden Soekarno dibantu Pandu Agung Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian menyatukan berbagai organisasi kepanduan itu dalam satu wadah yang bernama Gerakan Pramuka, melalui Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tertanggal 20 Mei 1961. Gerakan Pramuka kemudian diperkenalkan kepada masyarakat luas saat penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menjadi Ketua pertama Kwatir Nasional Gerakan Pramuka pada 14 Agustus 1961. Tanggal itulah yang kemudian disebut sebagai Hari Pramuka.
Berdasarkan data sejarah itu, jelas terlihat bahwa gerakan kepanduan yang kemudian menjadi gerakan kepramukaan telah lama ada di Indonesia. Bila dihitung dari 1912, berarti saat ini sudah hampir 110 tahun usianya. Tapi apakah kita, anggota Gerakan Pramuka, dan masyarakat luas tahu tentang sejarah Gerakan Pramuka itu?
Belajar Sejarah
Tentu saja kita harus mengupayakan agar sejarah Gerakan Pramuka tak hilang dan terlupakan. Kita harus mengajak generasi muda dan masyarakat luas untuk memahami sejarah Gerakan Pramuka, organisasi yang membantu membentuk kaum muda menjadi manusia-manusia Pancasilais yang berkarakter dan berjiwa patriot, menjadi manusia-manusia mandiri yang berguna bagi diri mereka sendiri, keluarga, masyarakatm, bangsa, dan negara, serta membantu terciptanya perdamian dunia.
Lalu bagaimana caranya belajar sejarah Gerakan Pramuka? Cara yang konvensional mungkin dengan membaca buku-buku yang menceritakan sejarah kepramukaan di Indonesia. Namun, sekadar membaca saja, mungkin kurang menyenangkan. Maka, cara lain yang bisa ditempuh adalah belajar sejarah kepramukaan melalui museum.
Apa itu museum? Definisi museum yang paling tepat tentunya berdasarkan definisi dari International Council of Museum (ICOM) yang merupakan institusi yang mewadahi berbagai museum di seluruh dunia. Selain definisi dari ICOM, ada juga definisi museum dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum. Ini adalah peraturan penting yang menjadi panduan dan mengatur tentang apa dan bagaimana museum dilaksanakan di Indonesia.
Sebenarnya, definisi museum dari ICOM maupun definisi menurut PP Nomor 66 Tahun 2015 tak berbeda jauh. Intinya, “Museum adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan hiburan.”
Hiburan? Benar, berkunjung ke museum sebenarnya menyenangkan. Kita bukan hanya dapat belajar tentang berbagai hal yang menambah pengetahuan dan wawasan kita, tetapi juga bisa mendapat hiburan saat ke museum. Bergembira bersama saudara dan sahabat, menikmati berbagai benda koleksi yang unik, menarik, dan bernilai sejarah tinggi, dan bahkan seperti yang sekarang menjadi tren di kalangan kaum muda, juga untuk ber-selfie ria dan mengabadikan berbagai kenangan dalam bentuk foto dan video. Tentu saja sesudah itu akan lebih menghibur dan menyenangkan lagi bagi anak-anak dan remaja, untuk mengunggah foto dan video kunjungan mereka ke museum ke berbagai akun media sosial.
Bagi Gerakan Pramuka, belajar melalui museum sebenarnya sejalan dengan metode pendidikan yang ada di lingkungan kepramukaan. Di Gerakan Pramuka sudah sejak lama dikenal metode “belajar sambil bermain”. Itulah sebabnya, banyak kegiatan kepramukaan yang terlihat seolah-olah hanya seperti bermain saja. Namun, seperti dikatakan Baden-Powell, “Scouting is a game, but a game with purpose”, yang artinya kurang lebih, kepramukaan adalah seperti sebuah permainan, tetapi permainan yang mengandung tujuan”. Lalu apa tujuan dari permainan kepramukaan? Tentu saja tujuannya adalah berbagai hal yang terkait dengan pendidikan karakter, sebagaimana menjadi tujuan Gerakan Pramuka.
Keinginan Mendirikan
Seperti yang telah diutarakan, tampak jelas bahwa museum menjadi sarana yang tepat untuk terus merawat ingatan kita pada sejarah kepramukaan, serta berbagai hal yang terkait dengan pendidikan kepramukaan.
Di Indonesia sendiri, keinginan untuk mendirikan Museum Gerakan Pramuka sebenarnya sudah cukup lama ada. Apalagi Gerakan Pramuka merupakan organisasi pendidikan kepramukaan/kepanduan terbesar di dunia. Tercatat ada 25 juta Pramuka di Indonesia dari jumlah keseluruhan sekitar 55 juta di seluruh dunia. Jadi jelas, museum sebagai tempat untuk menyimpan, melindungi yang tentu saja termasuk merawat dan memperbaiki bila ada kerusakan, melakukan penelitian, serta memamerkan benda-benda koleksi yang berkaitan dengan sejarah kepramukaan di negara kita menjadi amat penting.
Apalagi seperti telah diuraikan, sejarah kepramukaan di Indonesia sudah cukup panjang.
Sayangnya, walaupun telah lebih dari seabad kegiatan gerakan kepramukaan ada di Indonesia, belum ada satu pun museum Pramuka yang berdiri. Paling-paling hanyalah ruang koleksi yang digagas perseorangan, para Pramuka atau mantan Pandu dan Pramuka yang memang mempunyai hobi mengoleksi berbagai memorabilia kepramukaan.
Ketika berlangsung Jambore Nasional 1981 yang sekaligus Jambore Asia-Pasifik ke-6 di Cibubur, Jakarta Timur, sempat digelar semacam museum mini di salah satu ruangan di sana. Ibu Tien Soeharto yang selain Ibu Negara juga tokoh aktif Gerakan Pramuka dan menjabat sebagai Wakil Ketua Kwartir Nasional, sempat pula menyaksikan museum mini itu.
Selain itu, Ibu Tien Soeharto juga mengunjungi pameran filateli yang diselenggarakan Perum Pos dan Giro bekerja sama dengan Perkumpulan Filatelis Indonesia. Ibu Tien amat tertarik melihat koleksi prangko dan benda-benda pos lainnya yang ditampilkan di sana. Akhirnya Ibu Tien mengemukakan gagasan agar di Taman Mini Indonesia Indah, yang telah ada berbagai museum dan paviliun provinsi, dapat pula dibangun Museum Prangko. Gagasan itu segera ditindaklanjuti, dan akhirnya beridrilah Museum Prangko Indonesia pada 1983. Di dalam museum itu terdapat satu pojok yang khusus menampilkan prangko dan benda filateli lainnya dengan tema kepramukaan, dan dilengkapi pula dengan diorama kegiatan kepramukaan.
Tapi baru itu saja. Keberadaan museum yang khusus didedikasikan untuk mengisahkan sejarah kepramukaan di Indonesia belum ada. Sempat digagas beberapa kali di masa Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dipimpin oleh Kak Mashudi, Kak Rivai Harahap, dan Kak Azrul Azwar, tetapi baru sampai rancangan saja.
Kini, pada masa Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dipimpin Kak Budi Waseso, gagasan itu dihidupkan kembali. Untuk tahap pertama, selain mengumpulkan data-data tentang sejarah kepramukaan di Indonesia, juga telah dilaksanakan Pameran “Pramuka dalam Lintasan Sejarah” di Gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Pameran yang berlangsung dari 10 sampai 24 November 2021 itu berlangsung sukses dan setiap hari dipadati pengunjung. Sampai-sampai panitia memberlakukan pengaturan alur masuk dan keluar pengunjung, agar tetap mereka tetap menjaga jarak di masa pandemi Covid-10 ini.
Pada pameran itu juga diadakan talk show tentang Museum Gerakan Pramuka. Memang, meskipun saat ini telah dirancang perndirian Museum Pramuka Indonesia di Yogyakarta, kami merasa perlu ada juga museum sejenis di Jakarta, yang merupakan tempat kedudukan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Ada dua tempat yang menjadi pilihan utuk pendirian museum itu, di Gedung Kwartir Nasional di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, atau di kawasan TRW CIbubur, Jakarta Timur.
Jadi, mari kita wujudkan pendirian Museum Gerakan Pramuka.
***
*) Penulis adalah Wakil Ketua/Ketua Komisi Kehumasan dan Informatika Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Sebagian bahan tulisan ini diambil dari catatan pribadi penulis. Tulisan ini disiapkan sebagai pelengkap paparan GGD Konsep Model Museum Pramuka Indonesia yang diselenggarakan Komisi Kehumasan dan Informatika Kwartir Nasional Gerakan Pramuka di Ruang Agus Salim, TRW Cibubur, Jakarta Timur, 20 Desember 2021.