PRAMUKA.ID – Pada 7 Juni 1994, Randy Bush dari Portland, Oregon, Amerika Serikat (AS) melakukan ping pertama ke Indonesia, yaitu IPTEKNET. Sejak itulah internet era internet dimulai di Indonesia.
Kini, 28 tahun kemudian, internet sudah menjadi media yang digunakan oleh lebih dari 196,7 juta jiwa di Indonesia. Makin maraknya penggunaan internet sudah tentu membawa beberapa dampak bagi kehidupan sosial dan perilaku masyarakat, baik positif maupun negatif. Itu sesuatu yang sangat wajar.
Dampak positif internet pastilah semua orang tahu dan menikmatinya dengan penuh rasa sukacita, namun dampak negatif dari internet justru menimbulkan keresahan tersendiri, terutama yang terjadi di kalangan muda. Perubahan perilaku dan gaya hidup adalah hal paling terlihat dari dampak negatif internet itu.
Pada situasi ini maka yang kemudian paling terancam adalah soal nilai-nlai budaya lokal. Banyak yang seperti tercerabut dari akar budayanya sendiri demi keinginan menjadi manusia yang global.
Pada akhirnya kita semua memang tidak bisa menghindari gencarnya arus globalisasi yang masuk ke negeri kita. Sebagai manusia modern kita harus menerima itu agar tidak hidup bagaikan katak dalam tempurung. Yang menjadi masalah kemudian adalah banyak dari kita yang lupa pada batas-batas budaya, etika dan norma, sehingga seolah berada di dalam wilayah kebebasan tanpa garis batas.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah terjadinya penerobosan nilai-nilai agama. Padahal, nilai-nilai agama adalah sesuatu yang amat esensial, bahkan sejak manusia Indonesia lahir.
Penggunaan internet dalam berbagai bentuknya – mulai media sosial hingga platform digital – adalah hal yang baik dan bermanfaat, selama itu dibarengi oleh kesadaran akan pentingnya nilai budaya lokal. Nilai budaya lokal bukan hanya berwujud seni atau kebudayaan, namun juga adalah sikap hidup, sikap sosial dan etika.
Maka jika kita bicara tentang budaya lokal maka kita tidak sedang bicara soal tarian, makanan, adat istiadat dan semacamnya saja, tetapi justru adalah secara lebih luas berbicara soal karakter manusia Indonesia.
Gerakan Pramuka sebagai salah satu wadah penggemblengan karakter bangsa bisa menjadi ujung tombak bagi pelurusan kembali sikap-sikap hidup yang keliru, yang melenceng dari garis batas budaya lokal. Setiap anggota Pramuka dituntut untuk menjaga kemandirian sikap, hati dan jiwa, dalam koridor yang sejalan dengan jiwa Pancasila.
Gerakan Pramuka seharusnya mampu menjadi filter bagi masuknya nilai budaya baru yang tak sesuai dengan nilai budaya lokal. Kebanggaan sebagai anggota Gerakan Pramuka adalah pintu yang terjaga ketat bagi masuknya arus deras globalisasi yang tanpa kendali.
Tentu saja setiap anggota Gerakan Pramuka harus selalu up date dengan segala bentuk informasi dan asupan budaya luar, karena itu memang konsekwensi logis hidup di era digital seperti sekarang. Setap anggota Pramuka harus pandai, harus cerdas, harus berpikiran modern, memiliki visi yang global, namun tetap harus menjadi Indonesia. Keindonesiaan tidak boleh hilang hanya karena menjadi warga dunia.
Kuatnya falsafah Gerakan Pramuka rasanya sudah bisa menjadi rambu yang kuat untuk menjaga marwah dan kebanggaan setiap anggota Pramuka untuk selalu menjadi manusia Indonesia.
Jika dunia adalah laksana pelangi, maka Gerakan Pramuka pun ada di dalamnya dengan warnanya sendiri: merah-putih.
***
Muhamad Zarkasih, Andalan Nasional Komisi Bela Negara | Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Pramuka tingkat Daerah, Kwartir Daerah Gerakan Pramuka DKI Jakarta.