PRAMUKA.ID – Tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Penetapan tanggal 22 Desember itu berdasarkan Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta 22 Desember 1928. Sementara itu di Bengkulu sedang berlangsung acara Kemah Bela Negara Pramuka yang berlangsung dari tanggal 16 Desember hingga 22 Desember 2022. Kedua moment tersebut menjadi saling berkaitan secara kontekstual, terlebih acara Kemah Bela Negara Pramuka diadakan di Bengkulu, Propinsi yang tanggal 22 Desember 2022 akan juga dijadikan sebagai tempat puncak acara Hari Ibu Nasional.
Peringatan Hari Ibu di Indonesia tentu saja sangat jauh berbeda dengan peringatan Mother’s Day di belahan dunia lain. Hari Ibu di Indonesia memiliki keterkaitan dengan perjuangan para perempuan di Indonesia dalam menegakkan kemerdekaan, lepas dari belenggu penjajahan. Di saat Indonesia telah merdeka maka perjuangan itu berlanjut dengan usaha melepaskan diri dari belenggu yang lain, seperti kemiskinan, keterbelakangan pengetahuan dan pemberdayaan perempuan dana konteks kemajuan zaman. Jika disimak semua itu, maka akan terlihat sebuah garis lurus antara perjuangan kaum perempuan dengan konsep Bela Negara. Bela Negara bukan hanya ada dalam wilayah perjuangan secara fisik (seperti peperangan) namun juga masuk ke sektor yang sifatnya non fisik, seperti kepedulian dan aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi dan sosial.
Jika kita melihat Bela Negara dalam konteks Hari Ibu, segera akan terbayang di hadapan kita perjuangan 14 orang Pahlawan Nasional perempuan, yang sepak terjang perjuangannya tercatat abadi di dalam sejarah Indonesia. Dari 14 orang Pahlawan wanita tersebut terdapatlah satu nama, yaitu Ibu Fatmawati Soekarno, yang memang berasal dari Bengkulu. Fatmawati Soekarno adalah perempuan yang menjahit bendera merah putih pertama, yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia RI 17 Agustus 1945. Situasi pada saat itu sungguh adalah situasi yang berat dan begitu mencekam. Mendapatkan kain berwarna merah dan putih untuk dijadikan bendera bukanlah perkara mudah. Semua benda itu kebanyakan adalah barang impor, yang tentu saja dikuasai oleh pihak Jepang. Untuk mendapatkannya harus dengan keberanian dan kecerdikan yang luar biasa. Namun akhirnya dengan mesin jahit tangan merek Singer jadilah bendera pusaka itu, di bawah deraian air mata Ibu Fatmawati yang ketika itu sedang mengurus anaknya anak pertamanya, Guntur Soekarno Putra.
Perjuangan Fatmawati juga berlanjut hingga ketika Bung Karno dan Bung Hatta diculik ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Dalam sejarah barangkali kita hanya tahu bahwa para pemuda-lah yang memaksa Bung Karno kembali ke Jakarta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Awalnya Bung Karno menolak, namun karena desakan makin kuat maka Bung Karno pun menyerah. Namun ada sebuah cerita seputar kembalinya Bung Karno ke Jakarta, yang selama ini kurang diekspos. Fatmawati adalah salah seorang yang ikut mendesak Bung Karno untuk kembali ke Jakarta, yang juga menjadi pertimbangan Bung Karno, selain tentu saja karena alasan politis yang diusung oleh para pemuda. Saat itu anak pertama Guntur Soekarno masih bayi dan menyusu. Keberadaan Bung Karno dan Fatmawati di Rengasdengklok menyulitkan Fatmawati sebagai seorang ibu, dalam kaitan sang bayi membutuhkan susu. Penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok membuat Fatmawati pun tak sempat lagi membawa persediaan susu untuk anaknya. Hal itulah yang membuat Fatmawati mendesak Bung Karno untuk segera kembali ke Jakarta, menuruti keinginan para pemuda.
Mungkin alasan yang dikemukakan oleh Fatmawati adalah alasan yang personal, bukan dalam konteks politik. Namun sebuah keputusan apa pun pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari alasan personal, sekecil apa pun alasan itu. Rasa cinta Bung Karno kepada perjuangan dibarengi dengan rasa cintanya sebagai seorang ayah kepada anaknya. Maka kalau kita menyimak lagi apa yang dilakukan oleh Fatmawati dengan menjahit bendera pusaka dan mendesak Bung Karno kembali ke Jakarta, yang akhirnya berujung pada Proklamasi Kemrdekaan, harus dilihat sebagai bagian dari bentuk Bela Negara.
Pahlawan wanita lain yang berkaitan dengan Bela Negara adalah Cut Nyak Meutia. Jika yang dilakukan oleh Fatmawati adalah Bela Negara dalam konteks non fisik, maka perjuangan Cut Meutia adalah perjuangan fisik. Cut Meutia lahir pada tahun 1870 yaitu 3 tahun sebelum perang Aceh meletus. Setelah bercerai dengan Teuku Syam Sareh, Cut Meutia menikah dengan adik Teuku Syam Sareh, yaitu Teuku Cut Muhammad yang bergelar Teuku Cik Tunong. Pernikahan dengan Teuku Cik Tunong inilah yang membawa Cut Meutia ke ranah perjuangan fisik melawan Belanda. Cut Meutia ikut mendampingi Teuku Cik Tunong dalam perlawanan fisik terhadap penjajah Belanda.
Ketika Teuku Cik Tunong ditembak mati oleh Belanda, maka Cut Meutia-lah yang menggantikan posisi sebagai pemimpin para pejuang di Gayo. Perlawanannya yang luar biasa membuat pihak Belanda bertekad harus menangkapnya hidup atau mati. Sampai pada satu ketika persimpangan Krueng Peutoe, yaitu di Alue Kurieng, rombongan itu berhenti untuk menanak nasi. Disanalah mereka dengan mendadak diserang oleh pasukan Christoffel. Secepatnya pasukan muslimin yang sudah amat kecil kekuatannya itu siap menghadapi lawan. Pada pertempuran itulah Cut Meutia ditembak kakinya dan terus terduduk di tanah. Cut Meutia tidak menyerah, bahkan dengan pedang terhunus ia terus mengadakan perawanan hingga ia terbunuh oleh musuh.
Maka apa yang dilakukan oleh kedua pahlwan wanita di atas tadi rasanya bisa menjadi contoh dari bagaimana sikap Bela Negara bisa dilakukan, dengan bentuk fisik maupun non fisik. Berkaitan dengan Hari Ibu, maka nilai-nilai Bela Negara tadi bisa menjadi sebuah semangat bagi para peserta Kemah Bela Negara Pramuka 2022 kali ini. Sebab salah satu nilai filosofis dari konsep Bela Negara adalah juga bagaimana kita menghormati ibu – secara lebih luas adalah perempuan – dalam scope memberikan perlindungan dan perhatian.
***
Tentang penulis:
Muhamad Zarkasih adalah Andalan Nasional Komisis Bela Negara/Kapusdiklatda DKI Jakarta